Ada
hujan turun diantara kekeringan yang berkepanjangan, ketika musim kemarau itu
mulai melanda kegelisahan. Dan sebaliknya, ada langit cerah berawan putih bergoreskan warna-warna kehidupan diantara tetesan air yang menjadi dingin, ketika musim
penghujan itu mulai membasahi bumi. Kedua musim itu memiliki cerita dan
bercerita dengan bahasa yang berbeda. Kelak dikemudian hari ada sesuatu makna
yang bisa dipetik lalu disimpan di dalam kekosongan hati dari rangkaian cerita
yang telah diceritakan, dan ada sebuah arti yang dapat dijelaskan lalu
diungkapkan dari uraian kata-kata menjadi bahasa.
Ada pula waktu yang menjadi roda
kehidupan. Berbisik tentang kepastian, berbingkai hari – hari menjelang. Pagi,
matahari bersinar di ufuk timur menuju siang yang merajai hari. Siang, cahaya
di ketinggian mulai terik menuju barat di kerendahan sore. Sore, bersemayam
dalam rasa nyaman hingga menantikan senja di ketenangan. Senja, tenggelamlah
surya terbitlah gelap pekat. Dan malam, menjadi penghias kelam dalam ilustrasi
kehidupan, hingga terbitlah kembali terang bersama sang fajar.
Beginilah waktu, terus bergulir dan
berputar. Kita tak dapat kembali kepada masa lalu untuk merubahnya atau
mengulangnya. Karena roda kehidupan berjalan pada porosnya yang terkadang
terasa cepat atau terkadang terasa lambat. Beginilah hidup. Berjalan melewati
setapak demi setapak tanah hingga sampai pada persinggahan yang kita tuju, lalu
berjalan kembali walau terkadang jalanan itu tak selalu linier dan kadang kita
pun terjatuh dalam perjalanan.
Lihatlah dirimu sejenak, berceminlah! Dirimu telah
berjalan dalam perjalan panjang kehidupan. Jalan itu begitu panjang dan melelahkan,
menciptakan dahaga di kekeringan. Maka beristirahatlah dahulu biar letihmu
memudar. Duduklah sejenak di antara belantara hutan yang rindang atau pepohonan
tua yang berserakan daun hijau. Duduklah di atas akarnya lalu menikmati
hembusan angin di sore hari yang menyejukkan. Bila perlu berkunjunglah ke arah
sungai agar bisa membasuh wajahmu hingga terlihat segar kembali.
Lihatlah, dirimu telah merangkai sesuatu yang telah
terlukis di kehidupan. Seperti foto berbingkai yang telah tesimpan di dinding
halaman tengah rumahmu, yang begitu indah dipandang diawal, yang berdebu di
kemudian hari, yang kusam dan berjamur di keesokan harinya. Terkadang ingin
sekali dirimu membersihkan bingkainya dan menjaganya agar tetap bersih. namun
apalah daya, kedua tangan hanyalah tangan yang sudah berupaya menggenggam namun
tetap saja. Bingkai itu semakin berdebu dan fotonya berjamur karena tak
terurus.
Di kemudian hari, foto berbingkai itu jatuh. Kacanya retak,
pecah berkeping di halaman tengah rumahmu, berserakan dan fotonya berada di
lantai. Tak ada yang menyapu kepingan kaca itu, tetap berserakan di lantai. Bahkan
hingga dirimu terluka dan berair mata.
Sudahlah, hentikanlah. Biarlah apa yang telah terlukis
itu menjadi gambaran sisi lain hidupmu yang tak pernah kau inginkan. Dirimu
perempuan baik dan kuat. Biarlah kisah kemarin menjadi pembuka jalan untuk hari
ini menjelang. Maafkanlah mereka semua, dan dirimu berjalan kembali di hari
ini, dirimu tak pernah berjalan sendirian.
Duduklah sejenak di tempat duduk itu yang beralas
tanah, lalu bersandarlah di dinding pohon tua nan besar, dan berteduhlah!
Dirimu telah melewati perjalanan panjang yang melelahkan, yang harus menghidupi
kedua anak kecil perempuanmu yang berada di kota yang jauh disana.
Beristirahatlah sejenak dan bernafaslah dalam ketenangan. Kehidupan itu sengit,
melawan waktu yang tak henti, melelahkan. Bernafaslah, lalu lihat orang-orang
disekelilingmu… mereka tak lebih kuat darimu dan dirimu tak begitu lemah dari
mereka, maka dirimu hebat. Ya, dirimu adalah seorang perempuan hebat yang bisa
melawan kehidupan seorang diri.
Dalam doa yang dirimu panjatkan dirimu meminta ingin
dipersatukan lagi dengan kedua anak kecil perempuanmu dan ingin bersama selamanya.
Ingin sekali menjaga dalam keadaan yang bekecukupan.
Jalanan itu sangat panjang, bahkan dirimu tak bisa
menghindari perpisahan dengan kedua anak kecil perempuan dan selalu merindukan
pertemuan. Jalanan itu terlalu panajang karena kerinduanmu itu begitu
membelenggu dan selalu berkolerasi dengan sang waktu. Kerinduanmu itu berbisik
dalam hati yang dirimu beri ruang tak berbatas untuk disinggahi.
Di antara malam-malam kemarin dirimu
bercerita kepadaku dan mulai menuangkan isinya dengan bahasa sederhana. Ada air
mata yang menetas ketika bercerita karena tak kuasa menahan sebentuk rindu atau
tak bisa menahan kekesalan. Ada pula senyuman yang mencair dari suara-suara
yang terdengar dari jauh disana yang berkata “bunda, aku kengen bunda…”, dan
dari wajah yang di abadikan menjadi gambar yang selalu terbawa jika berpergian.
Lalu ada cerita biasa saja yang ingin sekali diceritakan karena ingin berbagi.
Dirimu menumbuhkan kepekaan terhadapku dan orang lain.
Lelahkah dirimu berjalan kakak
perempuan? Jangan! Dirimu harus berjalan kembali, melihat kembali warna-warna
kehidupan, menyapa mereka dengan kesederhanaan bahasa yang kau miliki,
berpegangan tangan dengan mereka karena kau ingin berempati dengan yang
lainnya, dan menyusun kembali hidupmu. Bila dirimu lelah kembali, maka
beristirahatlah kembali. Teruskanlah perjalan ini.
Sudahlah, biarkanlah hari kemarin
itu tersimpan dalam diri dan menjadi sejarah kelam hidupmu, serupa buku tebal
berdebu yang dibuka, lalu dibaca, dan disimpan kembali dalam rak dan berdebu
kembali. Di hari esok masih tersisa hari yang dimana semuanya bisa terjadi.
Terang sekalipun bisa bersinar terik
walaupun hanya satu titik, ketika gelap yang selalu menyelimuti, seperti bulan
yang menjadi teman setia ketika malam. Masih ada harimu dan kejarlah.
Pergilah ke tempat apapun yang
dirimu suka dan berarti, asalkan jangan menunduk tetapi bernyanyi. Di
persimpangan jalan sana banyak hal yang perlu diketahui dan bertemu dengan
banyak orang baru, karena langkahmu menuju dunia yang tak kau kenal sebelumnya.
Dan selalu ada jalan disana, dirimu tak akan tersesat, karena dirimu baik dan
selalu akan ada yang mendampingi di perjalananmu.
Dan berjalanlah bertiga. Dirimu yang
berperan ganda. Merangkai hidup di kemudian hari yang berawal di beranda. Semuanya
akan baik-baik saja dengan semestinya.
Kemarin adalah keraguan
Di belakangnya bersuara kegetiran
Berbisisk dalam hati bimbang
Tak percaya berjalan ke depan
Suatu hari berkata kepadaku
Menemaninya ketika malam
Mendekatkan diri sekedear bercerita
Berkatanya dengan sendu
Berairmata merindu
Mendengarku dengan pilu
Hingga aku lihat hari ini
Seekor burung merpati
Terbang diantara ketinggiannya
Berkelana…
Mengunjungi anak-anaknya
Dengan senangnya
Dan aku dapat bernafas lega
Karena tak lagi mencemaskannya
Mengulum senyum dari kisahnya
Seusai menemani di peraduannya